Showing posts with label perang thailand Kamboja. Show all posts
Showing posts with label perang thailand Kamboja. Show all posts

December 26, 2025

Perang Perbatasan Thailand-Kamboja: Mencari Pengakuan Harga Diri

 


Oleh  Harmen Batubara

Hubungan antara Thailand dan Kamboja sering kali digambarkan sebagai "persaingan saudara" (sibling rivalry) yang penuh sejarah. Sebagai dua negara yang berbagi garis perbatasan sepanjang lebih dari 800 kilometer serta akar budaya yang sangat mirip, konflik yang kembali pecah di penghujung tahun 2025 ini menunjukkan bahwa kedekatan geografis dan budaya tidak selalu menjamin stabilitas.

Gagalnya "Prakarsa Damai Kuala Lumpur"

Hanya dua bulan yang lalu, tepatnya pada 26 Oktober 2025, dunia sempat bernapas lega ketika Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bersama Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, menyaksikan penandatanganan "Kuala Lumpur Peace Accords". Kesepakatan ini seharusnya menjadi tonggak sejarah baru bagi perdamaian di Asia Tenggara. Namun, realitas di lapangan berkata lain. Sejak awal Desember, dentuman artileri kembali terdengar di kawasan sekitar Kuil Preah Vihear dan Ta Muen Thom.

Pelanggaran terhadap prakarsa damai ini memicu pertanyaan besar: mengapa kesepakatan yang dimediasi oleh kekuatan global dan ketua ASEAN ini begitu rapuh? Faktanya, strategi pertahanan kedua negara tetap dipandu oleh kepentingan nasional yang kaku. Thailand, dengan keunggulan udara jet tempur F-16, dan Kamboja, dengan sistem roket BM-21, tampaknya lebih memilih menunjukkan taring militernya daripada mempertahankan komitmen di atas kertas.

Geopolitik: Sentimen China terhadap Intervensi Luar

Sebagai kekuatan dominan di kawasan, China menunjukkan sikap yang cukup jelas. Beijing secara halus menolak keterlibatan langsung kekuatan dari luar kawasan, dalam hal ini pengaruh administrasi Trump, dalam urusan domestik Asia Tenggara. Bagi China, stabilitas di perbatasan Thailand-Kamboja adalah urusan internal keluarga besar ASEAN.

Terdapat indikasi kuat bahwa China merasa "prakarsa damai" yang dimotori oleh Trump lebih bersifat transaksional dan mengedepankan kepentingan politik luar negeri AS daripada solusi jangka panjang yang berkelanjutan. China secara konsisten mendorong agar ASEAN kembali menjadi penengah utama melalui "Cara ASEAN" (The ASEAN Way) yang mengedepankan dialog non-konfrontatif, tanpa campur tangan kekuatan Barat yang dianggap sering membawa agenda tersembunyi.


Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Di balik pergerakan pasukan dan manuver diplomatik, ada satu variabel yang sulit diukur namun sangat menentukan: Harga Diri.

Nasionalisme yang Terluka: Masalah perbatasan ini bukan sekadar tentang tanah atau batu kuil kuno, melainkan tentang kedaulatan yang tidak bisa ditawar. Baik Bangkok maupun Phnom Penh menggunakan isu perbatasan untuk memperkuat dukungan politik domestik.

Ketidakpercayaan yang Mendalam: Meskipun kesepakatan damai telah ditandatangani, kecurigaan bahwa pihak lawan tengah memperkuat posisi militer atau menanam ranjau baru tetap ada. Gencatan senjata sering kali hanya dianggap sebagai waktu untuk melakukan "regrouping" pasukan.

Kegagalan Institusional: ASEAN, meskipun didorong untuk menjadi penengah, sering kali terbentur pada prinsip non-intervensi yang membuat langkah-langkah de-eskalasi menjadi lambat dan kurang menggigit.

"Perang ini bukan lagi tentang siapa yang benar secara hukum internasional, tetapi tentang siapa yang mampu menjaga martabat bangsanya tanpa terlihat lemah di mata lawan."

Penarikan diri Kamboja dari SEA Games 2025 di Thailand bukan sekadar urusan olahraga, melainkan sebuah pernyataan politik yang membawa konsekuensi ekonomi sistemik bagi kedua negara. Ketika "Harga Diri" menjadi mata uang utama dalam konflik, stabilitas ekonomi sering kali menjadi tumbalnya.


Berikut adalah analisis mendalam mengenai dampak ekonomi dari keputusan tersebut dan konflik perbatasan yang menyertainya:

1. Lumpuhnya Ekonomi Perbatasan dan Perdagangan Bilateral

Perdagangan lintas batas adalah urat nadi ekonomi bagi warga di sepanjang 800 km perbatasan Thailand-Kamboja.

Nilai yang Dipertaruhkan: Pada tahun 2024, nilai perdagangan bilateral mencapai lebih dari US$ 4 miliar. Thailand merupakan mitra dagang terbesar keempat bagi Kamboja.

Pembekuan Logistik: Konflik yang memanas sejak Desember 2025 telah menyebabkan penutupan gerbang utama seperti Aranyaprathet-Poipet. Laporan menunjukkan kerugian di sektor industri saja mencapai hampir 500 juta baht (sekitar US$ 16 juta) hanya dalam 9 hari pertama bentrokan.

Biaya Logistik Membengkak: Penutupan jalur darat memaksa eksportir mencari jalur alternatif yang lebih jauh, meningkatkan biaya transportasi hingga 100%.

2. Sektor Pariwisata: Dari "Booming" Menjadi "Gloom"

SEA Games 2025 seharusnya menjadi ajang promosi pariwisata besar bagi Thailand, namun penarikan diri Kamboja di tengah perang memberikan sentimen negatif pada keamanan kawasan.

Okupansi Hotel Anjlok: Di provinsi perbatasan seperti Trat, okupansi hotel di destinasi populer seperti Koh Chang dan Koh Kood anjlok hingga 20% dari yang seharusnya hampir penuh di musim libur akhir tahun.

Kehilangan Pendapatan Langsung: Thailand kehilangan potensi devisa dari ribuan pendukung, delegasi, dan atlet Kamboja. Penarikan delegasi secara mendadak setelah upacara pembukaan (10 Desember 2025) juga menciptakan kekacauan logistik bagi panitia penyelenggara.



3. Ketidakpastian Investasi dan Sentimen Regional

Kehancuran prakarsa damai yang dimotori oleh Trump dan Anwar Ibrahim mengirimkan sinyal bahaya kepada investor internasional.

Risiko Geopolitik: Kegagalan diplomasi luar kawasan menunjukkan bahwa perjanjian di Asia Tenggara sangat rapuh terhadap sentimen nasionalisme domestik. Hal ini dapat menurunkan minat investasi asing langsung (FDI) karena meningkatnya premi risiko keamanan.

Efek Terhadap ASEAN Economic Community (AEC): Konflik ini memperlambat integrasi ekonomi regional. Bagaimana investor bisa percaya pada pasar tunggal ASEAN jika dua anggotanya saling melancarkan serangan udara dan menutup perbatasan?

4. Beban Kemanusiaan dan Anggaran Militer

Pengungsian Massal: Dengan lebih dari 140.000 warga sipil yang mengungsi, beban anggaran kedua negara tersedot untuk bantuan kemanusiaan dan penempatan pasukan, alih-alih untuk pembangunan infrastruktur produktif.

Opportunitas yang Hilang: Kamboja, yang sebelumnya sukses menyelenggarakan SEA Games 2023, kehilangan momentum untuk mempertahankan posisi brand olahraga dan pariwisatanya di tingkat regional akibat prioritas anggaran yang bergeser ke arah pertahanan.

Analisis Geopolitik: "ASEAN vs Pihak Luar"

Fakta bahwa prakarsa Trump dilanggar memperkuat argumen China bahwa intervensi luar kawasan tidak akan bertahan lama jika tidak didasari oleh konsensus internal ASEAN. China, sebagai mitra ekonomi utama bagi kedua negara, kemungkinan besar akan menggunakan tekanan ekonomi (seperti bantuan infrastruktur atau akses pasar) sebagai alat tawar-menawar untuk "mendamaikan" mereka kembali dengan cara yang lebih sesuai dengan kepentingan Beijing.

Mencari Keserasian dalam Perbedaan

Mencari "Harga Diri yang Serasi" berarti kedua negara harus menemukan titik temu di mana kedaulatan tetap terjaga tanpa harus mengorbankan stabilitas regional. Jika Thailand dan Kamboja terus terjebak dalam dikotomi sekutu dan pengaruh luar, maka perdamaian abadi hanyalah sebuah fatamorgana di perbatasan. Solusi terbaik tetap berada pada kekuatan regional yang mampu memahami sensitivitas budaya dan sejarah kedua bangsa, jauh dari hiruk-pikuk kepentingan politik adidaya.

Perang perbatasan ini membuktikan bahwa "Harga Diri" yang dicari kedua negara sangatlah mahal. Kerugian miliaran dolar dan rusaknya citra sebagai kawasan damai adalah harga yang harus dibayar ketika diplomasi olahraga dan politik gagal meredam api nasionalisme.