Harmen Batubara
Perang Rusia–Ukraina adalah tragedi modern yang lahir
dari persoalan lama: identitas, geopolitik, dan rasa saling curiga yang
menumpuk selama puluhan tahun.
Namun pada akhirnya, peperangan ini membuktikan satu hal: dua bangsa yang
berdekatan bisa berubah menjadi dua musuh tanpa empati—bahkan ketika sejarah,
budaya, dan masa depan mereka saling bertaut.
Akar Luka: Identitas dan Geopolitik yang Terabaikan
Ketegangan ini bukan muncul tiba-tiba.
Keinginan Ukraina untuk menentukan arah historis dan politiknya—bergabung
dengan Uni Eropa dan NATO—dipandang oleh Rusia sebagai ancaman keamanan
langsung.
Puncaknya terjadi tahun 2013 melalui Revolusi Maidan,
ketika rakyat Ukraina menolak tekanan Rusia dan memilih integrasi ke Barat.
Sebagai respon, Rusia mencaplok Krimea pada 2014, dan sejak saat itu
garis retak hubungan kedua negara semakin melebar.
Berbagai perundingan—Minsk I, Minsk II, kontak
diplomatik tak terhitung—selalu gagal.
Kedua pihak menginginkan keamanan, tetapi tidak menginginkan kompromi.
Hingga pada Februari 2022: Invasi dimulai. Perang meletus.
Pertempuran yang Menghancurkan Segalanya
Perang ini bukan sekadar benturan tank dengan artileri,
bukan sekadar drone melawan rudal.
Ini adalah benturan nasib manusia.
Kota-kota Ukraina porak-poranda.
Pangkalan militer Rusia kehilangan ribuan prajurit di garis depan.
Desa, rumah sakit, sekolah, dan pabrik luluh lantak menjadi puing.
Serangan balasan demi balasan menciptakan lingkaran
dendam tanpa akhir.
Di tengah suara bom, ada tangis yang tidak terdengar
oleh dunia:
anak-anak yang terpisah dari orang tua,
para ibu yang kehilangan rumah,
para tentara muda—dari kedua negara—yang bahkan belum sempat memahami hidup
sebelum dipaksa memahami kematian
Industri
Pertahanan yang Terus Berputar
Perang bukan hanya menghancurkan; ia juga menghidupkan
sesuatu yang tidak seharusnya hidup: industri persenjataan.
Di Rusia,
pabrik amunisi bekerja 24 jam sehari.
Rudal diproduksi seperti roti hangat dari tungku.
Drone, tank, peluru—semua menjadi angka dalam tabel produksi, bukan lagi simbol
kehancuran.
Di Ukraina,
dukungan militer Barat mengalir deras.
Setiap paket bantuan berarti perpanjangan waktu bagi
pertempuran.
Perang menjadi “proyek” global yang tak seorang pun tahu kapan akan selesai.
Ketika industri perang berputar, perdamaian kehilangan
daya tawarnya.
Kerugian:
Material, Emosional, dan Kemanusiaan
Tidak ada angka pasti yang disepakati dunia, tetapi 10
juta jiwa terdampak—entah terbunuh, terluka, mengungsi, atau kehilangan
kehidupan normal mereka.
Setiap angka adalah seseorang yang tidak akan lagi pulang. Setiap statistik
adalah keluarga yang hancur selamanya.
Kerugian material?
Tak terhitung.
Kota demi kota hilang dari peta.
Dan biaya perang?
Diperkirakan lebih dari 500 juta dolar AS per hari.
Setiap detik adalah uang yang tidak digunakan untuk rumah sakit, sekolah,
pangan, atau masa depan.
Semua itu pada akhirnya menjadi utang besar yang harus
dibayar oleh generasi berikutnya—generasi yang tidak pernah memilih perang,
tetapi harus mewarisi akibatnya
Perang yang
Memperlebar Jarak, Bukan Menyelesaikan Persoalan
Ironisnya, perang ini justru menjauhkan Rusia dan
Ukraina dari apa yang mereka perjuangkan.
- Persoalan identitas Ukraina kini semakin kuat: mereka
ingin menjauh dari Rusia.
- Kekhawatiran geopolitik Rusia semakin besar: NATO kini
justru semakin solid.
- Rasa saling percaya yang dulu rapuh kini hancur total.
- Luka sosial di kedua negara semakin dalam, mungkin untuk
beberapa generasi ke depan.
Perang tidak memberikan apa-apa selain kehancuran,
kebencian baru, dan jarak yang semakin sulit dijembatani.
Dua negara bertetangga kehilangan empati satu sama lain, dan dunia menyaksikan
bagaimana kedekatan sejarah bisa berubah menjadi jurang yang tak terlintasi
Penutup:
Perang yang Tidak Pernah Layak Dibenarkan
Pada akhirnya, perang Rusia–Ukraina mengingatkan kita
bahwa meski alasan awal mungkin tampak rasional—keamanan, identitas,
geopolitik—hasil akhirnya selalu sama:
kehancuran yang tidak menghasilkan apapun.
Tidak ada kemenangan sejati.
Tidak ada kebanggaan dalam tumpukan puing.
Tidak ada masa depan yang lahir dari dendam.
Ketika kabar damai mulai terdengar hari ini, dunia
berharap satu hal:
agar pada akhirnya dua bangsa yang pernah dekat ini belajar memulihkan
empati yang hilang, karena tanpa empati, perdamaian hanya akan menjadi
jeda—bukan solusi.

